Senin, 05 November 2012
manfaat busana bagi kehidupan menurut syariat islam
Untuk memahami kembali fungsi-fungsi busana, dapat diperjelas lagi ilustrasi berikut:
1. Busana Sebagai Penutup Aurat
Aurat dalam al-Qur’an disebut sau’at yang terambil dari kata sa’a, yasu’u yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan aurat yang terambil dari kata ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat termasuk aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka “keterlihatan” itulah yang buruk.
2. Fungsi Busana sebagai Perhiasan
Perhiasan merupakan sesuatu yang dipakai untuk memperelok (memperindah). Tentunya pemakaiannya sendiri harus lebih dahulu menganggap bahwa perhiasan tersebut indah, kendati orang lain tidak menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah. Al-Qur’an tidak menjelaskan apalagi merinci apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu yang “elok”. Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan kebebasan dan keserasian. Kebebasan haruslah disertai tanggung jawab, karena keindahan harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab. Tentu saja pendapat tersebut dapat diterima atau ditolak sekalipun keindahan merupakan dambaan manusia. Namun harus diingat pula bahwa keindahan sangat relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai.
Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa al-Qur’ân tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok. Wahyu kedua yang dinilai oleh ulama sebagai ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai Rasul antara lain menuntunnya agar menjaga dan terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (Q.S. al-Mudatsir (74): 4). Memang salah satu unsur multak keindahan adalah kerbersihan. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad S.a.w. senang memakai pakaian putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim Jazirah Arab yang panas, melainkan juga karena warna putih segera menampakkan kotoran, sehinga pemakaiannya akan segera terdorong untuk mengenakan pakaian lain yang bersih.
Al-Qur’an setelah memerintahkan agar memakai busana yang indah ketika berkunjung ke masjid, mengecam mereka yang mengharamkan perhiasan yang telah diciptakan Allah S.W.T. untuk manusia. Firman-Nya: yang artinya : “Katakanlah!” Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya …” (Q.S. al-A’raf (7): 32).
Karena berhias merupakan naluri manusi, maka ada sebuah hadîts yang mengisahkan seorang sahabat bertanya dalam kasus ini. “Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas kakinya indah (Apakah termasuk keangkuhan?) Nabi menjawab: “Sesunggunya Allah indah, senang kepada keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan menghina orang lain” (H.R. Turmudzî). Terdapat sekian hadîts yang menginformasikan bahwa Rasûlullâh s.a.w. menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan diperindah. Isteri Nabi s.a.w. Aisyah, meriwayatkan sebuah hadîts bahwa: “Seseorang wanita menyodorkan dengan tangannya sepucuk surat kepada Nabi dari belakang tirai, Nabi berhenti sejenak sebelum menerimanya, dan bersabda: “Saya tidak tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan lelaki atau perempuan. Aisyah berkata: “tangan perempuan”. Nabi kemudian berkata kepada wanita itu: “Seandainya Anda wanita, niscaya Anda akan memelihara kuku Anda (mewarnainya dengan pacar) (H.R.Bukhari).”
Demikian Nabi menganjurkan agar wanita berhias. Al-Qur’an memang tidak merinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan pakaian yang baik digunakan. Perlu diperhatikan, bahwa salah satu yang harus dihindari dalam berhias adalah timbulnya rangsangan birahi dari yang melihatnya (kecuali suami isteri) dan atau sikap tidak sopan dari siapapun. Hal-hal tersebut dapat muncul dari cara berpakaian, berhias, berjalan, berucap, dan sebagainya. Berhias tidak dilarang oleh ajaran Islam, karena ia adalah naluri manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-hailiyah, salah satu istilah yang digunakan al-Qur’an (surat al-Ahzab (33): 33) mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan birahi kepada selain suami isteri. Termasuk dalam cakupan maksud kata tabarruj menggunakan wang-wangian yang baunya menusuk hidung. Dalam sebuah hadîts Rasulullah s.a.w. bersabda: “Wanita yang memapakai farfum (yang merangsang) dan lewat di satu majelis (kelompok pria), maka sesungguhnya dia “begini” (yakni bezina)”. (H.R. al-Turmudzî).
3. Fungsi Perlindungan atau Ketakwaan
Telah disebutkan bahwa pakaian tebal dapat melindungi seseorang dari sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari sengatan panas. Hal ini bukanlah hal yang perlu dibuktika, karena yang demikian ini adalah perlindungan secara fisik. Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis bagi pemakainya. Pengaruh psikologis dari pakaian dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya jika pergi ke pesta, apabila mengenakan pakaian buruk, atau tidak sesuai dengan situasi, maka pemakainya akan merasa rikuh, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri, sebaliknya pun demikian. Kaum sufi, sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar dapat menghasikan pengaruh positif dalam jiwa mereka. Harus diakui bahwa memang pakaian tidak menciptakan muslimah, tetapi dia dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku sebagai muslimah yang baik, atau sebaliknya, tergantung dari cara dan model pakaiannya. Pakaian terhormat, mengundang seseorang untuk berperilaku serta mendatangi tempat-tempat terhormat, sekaligus mencegahnya ke tempat-tempat yang tidak senonoh. Ini salah satu yang dimaksud al-Qur’ân dengan memerintahkan wanita-wanita memakai jilbab. Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diangkat untuk pakaian ruhani. Libats al-taqwa. Setiap orang dituntut untuk merajut sendiri pakaian ini. Benang atau serat- seratnya adalah tobat, sabar, syukur, qana’ah, ridha, dan sebagainya. Sebuah hadîts menyebutkan: “Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa” (H.R. Muslim).
4. Fungsi Penunjuk Identitas
Identitas/kepribadian sesuatu adalah yang menggambarkan eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain. Eksistensi atau keberadaan seseorang ada yang bersifat material dan ada juga yang imateral. Hal-hal yang bersifat material antara lain tergambar dalam pakaian yang dikenakannya, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur,an: Artinya : “… Yang demikian itu lebih mudah bagi mereka untuk dikenal …”. (Q.S. al-Ahzâb (33): 59).
Karenanya, Rasulullah s.a.w. melarang laki-laki yang yang memakai pakaian perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki (H.R. Abû Dawud). Yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa Rasul menekankan pentingnya menampilkan kepribadian tersendiri, yang berbeda dengan yang lain. Dari sini dapat dimengerti dari sabdanya: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk kelompok kaum itu” (H.R. Bukhari).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar